Semarang, 25 November 2025 – Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Walisongo Semarang mengikuti kegiatan Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri melalui pemutaran dan diskusi film “Nia Kurnia Sari” yang digelar di Bioskop XXI Paragon. Kegiatan tersebut diikuti perwakilan sejumlah perguruan tinggi di Kota Semarang. Kegiatan ini juga sebagai bagian lanjutan kerjasama antara KPI UIN Walisongo dan Lembaga Sensor Film (LSF) RI.
Hadir dalam kegiatan tersebut Ketua Subkomisi Dialog LSF RI Widayat S Noeswa, Ketua Subkomisi Apresiasi dan Promosi Gustaf Aulia, sutradara film Aditya Gumay serta pemeran utama Qya Ditra
Widayat dalam pemaparannya menjelaskan bahwa LSF kini tidak hanya melakukan pemotongan adegan, tetapi lebih menekankan penelitian gambar, dialog, serta konteks cerita untuk memastikan kesesuaian dengan klasifikasi usia penonton.
“Program Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri bertujuan mendorong masyarakat, khususnya generasi muda, untuk memilih dan memilah tontonan sesuai usia. LSF kini menekankan edukasi, bukan sekadar penyensoran,” katanya.
Ia menyebut industri film Indonesia menunjukkan perkembangan positif dengan jumlah penonton yang mencapai 82 juta orang pada tahun ini.
Ketua Subkomisi Apresiasi dan Promosi LSF RI, Gustaf Aulia, menambahkan pemahaman klasifikasi usia film menjadi bagian penting literasi media. Ia menjelaskan terdapat lima klasifikasi yang digunakan LSF, mulai dari Semua Umur, 13+, 17+, hingga 21+.
“Setiap tahun lebih dari 42 ribu judul film disensor. Mahasiswa perlu memahami proses ini, khususnya bagi mereka yang membuat karya film agar nantinya dapat memperoleh Surat Tanda Lulus Sensor,” ujarnya.
Gustaf juga mengutip Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 yang menegaskan film sebagai karya seni budaya sekaligus media massa yang memiliki fungsi edukasi dan sosial.
Sutradara Aditya Gumay mengungkapkan film “Nia” digarap sebagai karya yang menghormati kisah nyata tokoh Nia Kurnia Sari. Ia mengatakan seluruh proses kreatif dilakukan dengan kehati-hatian, terutama dalam menggambarkan adegan sensitif seperti kekerasan seksual.
“Film adalah amanah. Tanggung jawab pembuat film besar karena penontonnya dari berbagai kalangan. Karena itu setiap karya harus dipikirkan dampaknya,” kata Aditya.
Hasil keuntungan dari film “Nia” ini nantinya akan didedikasikan untuk pembangunan rumah tahfidz. Sedekah 10 ribu nobar film Nia juga dilakukan.
Ia juga berpesan pentingnya membuat film yang edukatif untuk merubah ekosistem perfilman di Indonesia. Tidak hanya untuk mencari keuntungan namun juga penting membuat film yg baik. Buatlah film yang baik maka kamu akan didukung teman baik, pungkasnya.
Aktor Ditra yang memerankan tokoh antagonis menjelaskan bahwa ia melakukan transformasi fisik dan pendalaman karakter, termasuk mempelajari logat Minang. Ia menyebut film ini memberi tantangan tersendiri karena berbasis kisah nyata.
Film “Nia” menceritakan perjalanan hidup Nia Kurnia Sari yang bangkit dari masa sulit, meraih beasiswa, berprestasi di cabang olahraga pencak silat, hingga membantu keluarga dengan berjualan.
Kegiatan literasi film ini menjadi bagian dari upaya LSF kepada UIN Walisongo memperkuat pendidikan literasi media bagi mahasiswa, sekaligus mendukung pengembangan sineas muda di lingkungan kampus.
